Premanisme Dalam Konteks Politik

Januari 15, 2019 oleh :

Keberadaaan geng, preman, dan milisi telah menjadi ciri yang melekat dalam kehidupan sosial-politik di Indonesia. Sebuah karya memikat buku yang berjudul “Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru” yang ditulis oleh Ian Douglas Wilson itu diulas pada acara Bedah Buku Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).  Bedah Buku berlangsung pada Selasa (15/1) di Ruang Sidang Direktur Pascasarjana Lantai 1 UMY.

Acara ini diselanggarakan oleh Program Pascasarjana UMY bekerjasama dengan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) dan Social Movement Institute. Tak hanya menghadirkan penulis buku Ian D Wilson, Bedah Buku ini juga menghadirkan pembicara Zuly Qodir, dan Eko Prasetyo, dengan Gus Bach sebagai moderator.

Sebagai penulis, Ian menjelaskan buku ini mengambarkan tentang garis besar pola berkelanjutan dan perubahan dalam politik jatah preman semasa Orde Baru hingga pasca-Orde Baru sekarang. Kelompok-kelompok seperti FBR merupakan penubuhan dari kontradiksi dan ketegangan yang mencirikan politik jalanan Jakarta pasca-Orde Baru.

“Demokrasi memberi peluang untuk menikmati kemungkinan-kemungkinan yang ada. Mereka menciptakan ketimpaan sosial dengan memberikan perlindungan, ” , ujar Ian.

Organisasi-oraganisasi seperti FPI dan FBR umumnya bebas dari kendali langsung militer atau polisi, asalkan mereka merepoduksi peran “serupa-negara” dalam memelihara tatanan sosial-politik yang umumnya kondusif bagi kepentingan elite politik dan bisnis. Dengan itu mereka menjadi “mitra” berharga, bahkan “aset bangsa”, yang bisa diberi konsesi-konsesi ekonomi dan politik.

Pada kesempatan itu pula, Zuly Qodir seorang sosiolog, selaku pembedah kedua menambahkan bahwa selama tiga elemen, TNI, Pengusaha, dan Politisi maka preman tidak akan lepas dari elemen politik di Indonesia.

“ Jika preman diberi ruang, maka akan merambas kemana-mana, bukan lagi ruang perlindungan tapi juga ruang akademik. Negera memelihara preman, tapi preman menegara. Preman bukan lagi menjadi sebuah harapan, namun menjadi sebuah terminal pekerjaan”, tandas Eko Prasetyo, salah satu pembedah buku yang menyoroti lebih dalam.

Menurut Eko, buku ini menjelaskan tentang jatah preman menjadi demokrasi yang berbahaya dan gelap serta membuat kita bertanya-tanya bagaimana masa depan demokrasi.  

Latest News